Oleh : Am
Bahasa adalah budaya kolektif manusia. Namanya kolektif, wajar saja
jika dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita berselisih pendapat dengan
orang lain karena salah paham. Kesalahpahaman tersebut acap kali timbul ketika
kita salah mengartikan maksud yang diinginkan lawan bicara kita. Hal itu biasa terjadi.
Karena, kita memang mempunyai batasan pamahaman yang berbeda. Masalahnya
adalah, ketika kita sama sekali tak acuh terhadap pemahaman yang kita miliki.
Misal begini,
suatu hari Budi dimintai tolong oleh ibunya untuk membeli tomat di warung
seberang. Sebelum berangkat, ibunya berpesan “Le, sebelum nyeberang,
tolah-toleh dulu. Nunggu mobil-motor lewat,” katanya lembut.
“Iya, Bu,” jawab Budi singkat sambil berangkat. Setelah lama ditunggu, Budi tak
kunjung datang. Ibu Budi heran, anaknya tak kunjung kembali. Didorong rasa
khawatir, Ibu Budi menyusul Budi ke warung seberang. Tapi, begitu keluar rumah,
ternyata Budi masih tetap di pinggir jalan depan rumahnya. “Lho, kamu ngapain
di sini, bukannya Ibu suruh beli tomat!?”
tanya ibunya kesal. “Nunggu mobil-motor, Bu. Nggak lewat-lewat,”
jawab Budi dengan polosnya tanpa beban. Nah, lho??
Kembali ke bahasa.
Dalam setiap bahasa, kita mengenal terminologi kata. “Coba belah kata-kata, maka
kita akan menemukan abjad-abjad tak bermakna”, begitulah kira-kira bila kita membaca
kata. Ujung-ujungnya, kita tak akan menemukan apa-apa.
Kita analogikan
bahasa sebagai buku, kata sebagai sampulnya, dan makna sebagai lembar
halamannya. Apakah kita akan menilai isi buku dari sampulnya? Padahal, esensi
dari sebuah buku ada dalam lembar-lembar halamannya. Sedangkan cover,
hanyalah secuil refleksinya saja.
Membaca kata akan membuat kita boros energi. Sebab, kita harus
memaknai kata demi kata. Namun sebaliknya, membaca makna akan membuat kita jauh
lebih efisien dalam berbicara. Dengan membaca makna, tak perlu lagi ada debat
kusir tentang kerancuan perkataan orang lain dalam ranah ilmiah. Juga tak perlu
ada ambisi untuk mengalahkan dan menjatuhkan orang lain dengan menyebutkan kekurangan
yang ada dalam perkataannya. Begitulah dampak sistemik membaca kata yang secara
implisit diungkapkan Imam Al-Ghozali dalam masterpiece-nya, Ihya’ Ulum
ad Din, tentang definisi mira’a dan jadal.
Kebiasaan membaca
makna, juga akan sangat berguna bagi Anda yang mempunyai keinginan ke luar negeri.
Hidup di negeri orang dengan bahasa yang berbeda tentu akan membuat kita harus
belajar dari awal. Jika pernah mempelajari bahasa negara tujuan, itu akan
banyak membantu. Namun tetap saja akan ada kendala, baik dari segi perbendaharaan
kata, aksen, dialek, dan sebagainya. Disinilah nantinya kebiasaan membaca makna
akan sangat berguna. Karena, semakin pandai kita membaca makna, maka akan
semakin pandai pula kita menggunakan bahasa universal, bahasa tarzan.
Namun sayangnya, seringkali kita
terlanjur terbiasa membaca kata, bukan makna. Sehingga,
kita kerap mengernyitkan dahi ketika harus kembali belajar membaca
makna dari awal lagi, seperti bayi. Hal itu pula yang pernah saya alami.
Seandainya saya
komputer, maka saya adalah komputer tak berpentium yang - ketika menerima
perintah untuk menjalankan suatu program, masih harus membuka list
program yang dimiliki, mengeceknya satu demi satu sesuai abjad, lalu mencontrengnya
ketika sudah ketemu, baru membuka program yang dimaksud. Begitu seterusnya - harus
loading. Lama pula! Jangan baca kata yang tersusun dalam paragraf ini,
baca saja maknanya!
Bedanya, loading yang saya alami jauh lebih ekspresif.
Ketika harus menjawab pertanyaan misalnya, saya harus memicingkan mata ke atas
untuk membongkar perbendaharaan kata yang saya miliki, menyusun jawaban, sambil
mengintip langit, berharap tiba-tiba ada kamus Bahasa Arab jatuh. Ketika ngobrol
juga. Lawan ngobrol saya harus berulang kali mengulang pertanyaan dan pernyataannya.
Sedang saya, menerjemahkannya terbata-bata, terseok-seok, mirip kura-kura
mengejar kelinci dalam lomba lari, sambil berharap orang tersebut masih punya
banyak stok kesabaran dalam hatinya.
Pun ketika bertanya. Orang yang saya tanya bahkan sering kali
terlihat lebih banyak lipatan di dahinya daripada saya yang -harusnya- berpikir
lebih keras. Orang tersebut kelihatan tampak lebih bingung daripada saya yang –
juga harusnya- lebih bingung. Dia juga tampak lebih gamang daripada saya yang -(lagi-lagi)
harusnya- lebih gamang; gamang antara melihat isyarat tubuh saya, memahami
maksud saya, atau membiarkan saya mengoceh tanpa bisa dimengerti seperti burung
kelaparan. Jika saya sudah berhenti, tinggal bilang “coba tanya pada orang yang
di sana!” sambil menunjuk orang lain. Sedang saya, juga gamang; gamang mengartikan
tatapan gamangnya yang seperti melihat alien dari planet lain. Lebih jauh lagi,
kegamangan saya menerjemahkan gesture gamangnya, antara dia menebak asal
saya, atau dia sedang mengklasifikasikan saya sebagai mongoloid, kaukasoid,
negroid, paranoid, atau bahkan android?
Berkali-kali saya mengalami hal seperti itu. Tapi sedikit-demi
sedikit, saya bisa memahami bahasa mereka, dengan bantuan bahasa tarzan
tentunya. Dan, tahu bahasa fusha banyak membantu perkembangan komunikasi
saya untuk memahami bahasa mereka yang ‘ammy. Untungnya lagi, nggak ada
orang alay di sana. Sehingga, tak membuat saya semakin gila. Wong yang
bahasa sehari-hari saja susah, apalagi yang aneh-aneh?!
So, jangan
terlalu ‘mudah’ membaca kata, tapi pahamilah makna yang terkandung di dalamnya.
Dan jangan baca tulisan ini dari katanya, tapi pahami maknanya!
Rumah
Pertama, 300114
SOCIALIZE IT →