Sabtu, 18 Juni 2016

Membaca Makna

Posted By: Unknown - 20.04
Oleh : Am
Bahasa adalah budaya kolektif manusia. Namanya kolektif, wajar saja jika dalam kehidupan sehari-hari, seringkali kita berselisih pendapat dengan orang lain karena salah paham. Kesalahpahaman tersebut acap kali timbul ketika kita salah mengartikan maksud yang diinginkan lawan bicara kita. Hal itu biasa terjadi. Karena, kita memang mempunyai batasan pamahaman yang berbeda. Masalahnya adalah, ketika kita sama sekali tak acuh terhadap pemahaman yang kita miliki.
            Misal begini, suatu hari Budi dimintai tolong oleh ibunya untuk membeli tomat di warung seberang. Sebelum berangkat, ibunya berpesan “Le, sebelum nyeberang, tolah-toleh dulu. Nunggu mobil-motor lewat,” katanya lembut. “Iya, Bu,” jawab Budi singkat sambil berangkat. Setelah lama ditunggu, Budi tak kunjung datang. Ibu Budi heran, anaknya tak kunjung kembali. Didorong rasa khawatir, Ibu Budi menyusul Budi ke warung seberang. Tapi, begitu keluar rumah, ternyata Budi masih tetap di pinggir jalan depan rumahnya. “Lho, kamu ngapain di sini, bukannya Ibu suruh  beli tomat!?” tanya ibunya kesal. “Nunggu mobil-motor, Bu. Nggak lewat-lewat,” jawab Budi dengan polosnya tanpa beban. Nah, lho??
            Kembali ke bahasa. Dalam setiap bahasa, kita mengenal terminologi kata. “Coba belah kata-kata, maka kita akan menemukan abjad-abjad tak bermakna”, begitulah kira-kira bila kita membaca kata. Ujung-ujungnya, kita tak akan menemukan apa-apa.
            Kita analogikan bahasa sebagai buku, kata sebagai sampulnya, dan makna sebagai lembar halamannya. Apakah kita akan menilai isi buku dari sampulnya? Padahal, esensi dari sebuah buku ada dalam lembar-lembar halamannya. Sedangkan cover, hanyalah secuil refleksinya saja.
Membaca kata akan membuat kita boros energi. Sebab, kita harus memaknai kata demi kata. Namun sebaliknya, membaca makna akan membuat kita jauh lebih efisien dalam berbicara. Dengan membaca makna, tak perlu lagi ada debat kusir tentang kerancuan perkataan orang lain dalam ranah ilmiah. Juga tak perlu ada ambisi untuk mengalahkan dan menjatuhkan orang lain dengan menyebutkan kekurangan yang ada dalam perkataannya. Begitulah dampak sistemik membaca kata yang secara implisit diungkapkan Imam Al-Ghozali dalam masterpiece-nya, Ihya’ Ulum ad Din, tentang definisi mira’a dan jadal.
            Kebiasaan membaca makna, juga akan sangat berguna bagi Anda yang mempunyai keinginan ke luar negeri. Hidup di negeri orang dengan bahasa yang berbeda tentu akan membuat kita harus belajar dari awal. Jika pernah mempelajari bahasa negara tujuan, itu akan banyak membantu. Namun tetap saja akan ada kendala, baik dari segi perbendaharaan kata, aksen, dialek, dan sebagainya. Disinilah nantinya kebiasaan membaca makna akan sangat berguna. Karena, semakin pandai kita membaca makna, maka akan semakin pandai pula kita menggunakan bahasa universal, bahasa tarzan.
            Namun sayangnya, seringkali kita terlanjur terbiasa membaca kata, bukan makna. Sehingga,
kita kerap mengernyitkan dahi ketika harus kembali belajar membaca makna dari awal lagi, seperti bayi. Hal itu pula yang pernah saya alami.
            Seandainya saya komputer, maka saya adalah komputer tak berpentium yang - ketika menerima perintah untuk menjalankan suatu program, masih harus membuka list program yang dimiliki, mengeceknya satu demi satu sesuai abjad, lalu mencontrengnya ketika sudah ketemu, baru membuka program yang dimaksud. Begitu seterusnya - harus loading. Lama pula! Jangan baca kata yang tersusun dalam paragraf ini, baca saja maknanya!
Bedanya, loading yang saya alami jauh lebih ekspresif. Ketika harus menjawab pertanyaan misalnya, saya harus memicingkan mata ke atas untuk membongkar perbendaharaan kata yang saya miliki, menyusun jawaban, sambil mengintip langit, berharap tiba-tiba ada kamus Bahasa Arab jatuh. Ketika ngobrol juga. Lawan ngobrol saya harus berulang kali mengulang pertanyaan dan pernyataannya. Sedang saya, menerjemahkannya terbata-bata, terseok-seok, mirip kura-kura mengejar kelinci dalam lomba lari, sambil berharap orang tersebut masih punya banyak stok kesabaran dalam hatinya.
Pun ketika bertanya. Orang yang saya tanya bahkan sering kali terlihat lebih banyak lipatan di dahinya daripada saya yang -harusnya- berpikir lebih keras. Orang tersebut kelihatan tampak lebih bingung daripada saya yang – juga harusnya- lebih bingung. Dia juga tampak lebih gamang daripada saya yang -(lagi-lagi) harusnya- lebih gamang; gamang antara melihat isyarat tubuh saya, memahami maksud saya, atau membiarkan saya mengoceh tanpa bisa dimengerti seperti burung kelaparan. Jika saya sudah berhenti, tinggal bilang “coba tanya pada orang yang di sana!” sambil menunjuk orang lain. Sedang saya, juga gamang; gamang mengartikan tatapan gamangnya yang seperti melihat alien dari planet lain. Lebih jauh lagi, kegamangan saya menerjemahkan gesture gamangnya, antara dia menebak asal saya, atau dia sedang mengklasifikasikan saya sebagai mongoloid, kaukasoid, negroid, paranoid, atau bahkan android?
Berkali-kali saya mengalami hal seperti itu. Tapi sedikit-demi sedikit, saya bisa memahami bahasa mereka, dengan bantuan bahasa tarzan tentunya. Dan, tahu bahasa fusha banyak membantu perkembangan komunikasi saya untuk memahami bahasa mereka yang ‘ammy. Untungnya lagi, nggak ada orang alay di sana. Sehingga, tak membuat saya semakin gila. Wong yang bahasa sehari-hari saja susah, apalagi yang aneh-aneh?!
            So, jangan terlalu ‘mudah’ membaca kata, tapi pahamilah makna yang terkandung di dalamnya. Dan jangan baca tulisan ini dari katanya, tapi pahami maknanya!

                                                                                                Rumah Pertama, 300114

About Unknown

IHNA adalah singkatan dari Ittihadu Marhalatina. IHNA adalah nama sebuah angkatan mahasantri di Pondok Pesantren Darus Sunnah yang diasuh oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya'kub, MA.

0 komentar:

Posting Komentar

Ads

Iklan Murah Meriah

Copyright © 2015 All Rights Reserved

Designed by Templatezy