Sabtu, 18 Juni 2016

Jatuh Cinta

Posted By: Unknown - 19.57
Oleh : M. Abdul Hamid LA


Sore itu, ditemani gerimis yang merintik basahi jalan paving depan pondok, saya dan teman saya, sebut saja Hamdan, pergi ke warkop langganan kami seperti biasa. “Warkop Keabadian”, begitu saya menyebutnya. Sedang nama resmi yang teregistrasi di Menperindag, Warkop Aa’. Namun, berhubung di seberang warkop tersebut berdiri Masjid Al Kabadiyah, jadilah saya dan geng menyebutnya Warkop Kabad. Nyatanya, nama kedua lebih booming dan menjadi trademark tersendiri. Namun pada perkembangannya, saya merasa nama Kabad kurang membumi, sama sekali tidak Nusantarais, nggak Indonesia banget! So, saya ganti “Keabadian”, selain lebih filosofis, pronounciation-nya juga dekat dengan Kabadiyah.

Sesampainya di Warkop, kami langsung duduk berdekatan, lekat dan hangat layaknya pengantin baru yang enggan berpisah barang sedetik. Maklum, tempatnya sempit. Sempit banget! Tapi gorengannyauwenak tenan! Pelayanannya memuaskan. Plus, berlisensi ISO:9001. Jadi, warkop mana lagi yang akan kau cari?   

“Pernah jatuh cinta, Mid?” bisik Hamdan tiba-tiba. Padahal saya belum sempat memesan apapun. Baru juga duduk. Malahan, belum sempat saya menyapa pemilik warkop sebagaimana kebiasaan saya selama ini.
“Sore, Aa!” sapa saya pada pemilik warkop sejenak tak menghiraukan pertanyaan Hamdan.
“Wey... kumaha’damang?” balasnya simpatik sambil menoleh kebelakang mengalihkan fokusnya dari wajan penggorengan.
Damang, Aa. Tahu belum kelar?” tanya saya retoris.
“Paling 10 menit lagi, nih!” katanya sambil menunjuk wajan penggorengan yang penuh tahu bergelimpangan tak berdaya bak tawanan kamp konsentrasi Nazi.
“Ya udah, Aa. Jeruk Anget dulu.”
“Ok. Hamdan apaan?” tanya Aa pemilik warkop sambil melirik Hamdan yang tampak tak acuh. Malas tanyanya saya tunda.
“Sama deh, Aa,” timpalnya pasrah.
Tanpa ba-bi-bu, si Aa langsung balik badan menuju ‘ruang kerjanya’, lalu sibuk dengan pesanan kami.

“Gimana?” Hamdan mengingatkan saya akan pertanyaannya tadi.
“Gimana, ya...” kata saya gamang sambil mencari file dengan keyword “Jatuh Cinta” dalam tumpukan memori saya yang berserakan kacau. Sudah lama sekali rasanya saya tak bermelo-melo ria. Setiap berkas tentang cinta dalam memori saya sudah usang dan tertutup debu. Maka dari itu, ingatan saya tentang cinta tak sepenuhnya utuh. Ada yang rusak jilidannya diganyang Lepisma saccharina, ada sebagian yang hilang, sobek, atau malah berlubang dimakan Trogium pulsatorium. Tapi kebanyakan, sengaja saya simpan di bagian paling bawah agar tak mudah terbuka. Kalau bisa, saya lupakan sekalian.

“Gimana!!?” Hamdan membuyarkan proses pencarian saya.
“Kalau cuma jatuh, sering. Dulu.”
Trus, kalau pake cinta?” pancingnya.
Emang jatuh cinta itu gimana, sih?”
“Duh...” keluh Hamdan sebal. Matanya membelalak. Tubuhnya semakin condong kedepan, berusaha mendeteksi kebohongan yang tersirat melalui air muka saya dari dekat. Tapi ekspresi saya benar-benar polos dan innocent. ‘Ternyata, tak rugi dulu sok-sokan ikut teater,’ batin saya.

Setelah sepenuhnya yakin bahwa saya jujur, dengan gaya bak orator ulung nan sarat pengalaman, Hamdan menjelaskan, “Jatuh cinta itu,” Hamdan sengaja membuat jeda dalam kalimatnya agar dramatis, “pengalaman individual, Mid,” katanya datar dengan suara mendadak dibuat berat dan berwibawa. Ada kebijaksanaan yang tersemat dalam suaranya.

Kalau sudah begitu, saya serasa bertransformasi menjadi cecunguk mafia yang bersikap takzim saat mendengarkan dengan seksama semua titah Don Carleone dalam film The Godfather. Bahkan kalau perlu, sekalian saya menjadi Emban Ndalem yang harus membungkukkan badan serta mengatupkan tangan dengan rapat di depan dahi saat mendengarkan dawuh para keluarga kerajaan Majapahit dalam novel Gajah Mada-nya LKH. Intinya, karena gayanya yang luar biasa uwasem dan jannah itu, Hamdan membuat saya mendadak hina, rendah, tak berharga dan tak ada artinya. Saya hanyalah batu kali di sanding batu mulia.

“Jadi pengalaman yang dialami berbeda,” lanjutnya dengan sedikit penekanan di akhir kalimat. “Tak bisa disamakan antara apa yang dialami satu individu,” kalimatnya tertahan, tangan kanan dengan telunjuk teracung maju kedepan memberi contoh, “dengan individu lainnya,” kali ini tangan kirinya yang maju, persis poster Bung Tomo saat berorasi membakar semangat Arek Suroboyo. Tahu, kan?!

“Jatuh cinta adalah anugerah yang Allah berikan pada setiap insan sebagai fitrah agar mereka saling menyayangi, mengerti, dan memahami dalam interaksi antara sesamanya. Serta, cinta itu sendiri merupakan sesuatu yang harus ditanam, disiram, dan dipupuk layaknya pohon.”

Aneh. Benar-benar aneh. Hamdan mengucapkan semua kalimat tersebut tanpa jeda, tanpa koma, tanpa nafas, tanpa berpikir. Ada semacam malaikat yang datang memberinya ilham hingga bisa ndawuh sebijak dan selancar itu. Semua kalimat tersebut melesat begitu saja dari mulutnya dengan kecepatan cahaya. Semuanya meluncur lancar bak butiran peluru dari ujung moncong AK-47.

Tak mau kalah, saya menimpalinya dengan bercanda, “lalu pohonnya ditebang untuk dijadikan korek api. Lalu, korek apinya dibuat bakar hutan. Sudah. Hangus analogi cintamu itu, Dan!”

“Ah, ribet ngomong sama ente! Sukanya ngajakin ribut!” keluhnya.
“Coba kasi analogi lain,” pinta saya segera untuk menghilangkan rasa kesal Hamdan.
“Emm... gini, ente kan, produk pesantren salaf yang sedikit banyak pernah bersinggungan sama tasawuf,nih, kalau dalam teori sufismenya, jatuh cinta itu mirip sama pengalaman spiritual para sufi.

Pada hakikatnya, jatuh cinta bukanlah ide dan pengalaman sosial yang diletakkan di puncak menara gading, tak tersentuh dan jauh. Justru, jatuh cinta merupakan pengalaman yang sangat dekat bahkan cenderung menyatu dengan interaksi harian kita. Jatuh cinta itu bumbu yang dapat kita temukan dalam setiap interaksi antar keluarga, antar tetangga, antar teman, guru-murid, dan dalam bentuk hubungan lainnya.

Dalam ritual ibadah, goal-nya adalah penghambaan kita pada Allah agar mendapat ridha-Nya. Sedang sufisme yang membuat segalanya semakin lezat dan dapat dinikmati. Dalam shalat, misalnya. Shalat sebagai salah satu bentuk penghambaan, di dalamnya ada takbiratul ihram, ada rukuk, ada sujud, dan sebagainya. Nah, sufisme adalah faktor yang membuat kita semakin menikmati setiap gerakan yang kita lakukan dalam shalat. Tanpa sufisme, kita hanya akan mengenal takbir sebagai gerakan untuk memulai shalat. Padahal, takbir merupakan gerbang penghambaan, gerakan yang membuat kita dapat memulai ritual percintaan dengan Allah.

Rukuk, sebagai ketertundukan kita pada Allah. Maka dari itu, kita menundukkan badan dan kepala sebagai simbol kepatuhan. Karena itu pula, oleh kaum sufi, rukuk dikenal sebagai fana al awwal, kondisi ketiadaan dan ketidak-berdayaan seorang pecinta dihadapan kekasihnya. Lalu sujud, sebagai puncak penghambaan sekaligus titik terdekat antara kita dengan Allah yang kemudian disebut sebagai fana al kamil, keadaan ketika ke”aku”an menjadi penghambaan. Tidak ada lagi egoisme dan arogansi. Kita adalah hamba. Mutlak!

Simpelnya, jika ibadah adalah makan, goal-nya kenyang. Sufisme merupakan bumbu yang memberi cita rasa agar kita bisa menikmatinya. Gitu...

Begitu juga jatuh cinta. Goal interaksi adalah saling mengenal, menghormati, berbagi dan banyak lagi. Jatuh cinta membuat kita menikmati semua proses itu. Interaksi bukan lagi aktivitas miskin esensi. Tapi justru semakin berisi.  

Jatuh cinta, adalah contoh pengalaman yang memiliki banyak sisi. Atau paling tidak, ia mempunyai dua sisi. Di satu sisi, ia dapat hadir dalam bentuk interaksi sehari-hari. Ia bisa hadir dalam percakapan dan perilaku yang kita lakukan saban hari. Tapi di sisi lain, ia bisa mewujud sebagai sesuatu yang sangat rumit dan tak bisa dipahami. Bahkan, dalam tingkatan tertentu, pengalaman jatuh cinta tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ia hanya bisa dirasa oleh yang mengalaminya saja. Ia adalah pengalaman yang tak bisa dijelaskan dengan bahasa manapun. Tapi ia terasa,” jelas Hamdan panjang lebar.

Pada titik ini, saya adalah Alexander yang termangu mendengarkan pelajaran Sang Guru, Aristoteles, dalam “Education d’Alexandre par Aristote” karya Charles Laplante.

“Paham?” Hamdan memungkasi ceramahnya yang lebih mirip dengan wejangan seorang Mursyid pada pengikutnya dalam sebuah acara Tarekat.
Saya mengangguk agak ragu.
So?” selidiknya.
“Emm.... kalau yang ente alami gimana?” saya berusaha memastikan.
“Ok. Berarti sekarang kita beranjak ke level yang lebih tinggi dalam jatuh cinta; pengalaman. Tapi sekali lagi ane tegaskan, pengalaman setiap orang berbeda lohya...

Sebelum ane jelaskan lebih jauh, ane petakan dulu reaksi subjek secara personal, yaitu ane sendiri, berdasarkan proses. Pertama, kalau pas ketemu atau cuma papasan. Kedua, kalau ngobrol. Ketiga, pasngeliat. Keempat, pas dia nggak ada. Itu semua poin pertama. Poin kedua, reaksi fisik yang berkaitan dengan objek; dalam kasus ini Sapi. ”

Buset... udah kaya pemetaan responden penelitian aja, nih!” heran saya dalam hati.

“Kita masuk ke pembahasan pertama; kalau pas ketemu atau cuma papasan. Reaksi personal yang ane alami adalah, jantung berdetak kencang, ada rasa bahagia yang tiba-tiba menyeruak tak tertahan, tuntutan untuk selalu berdekatan dan memulai komunikasi. Nah, kalau udah gini, ane bakal nyari bahan obrolan.

Reaksi fisik yang berkaitan dengan objek, senyum. Cuma senyum sambil sedikit menundukkan kepala sopan. Cuma itu! So ironic...! Ane serupa lautan dalamair tenang dan riak-riak kecil.” Hamdan menundukkan kepala. Sedih. Saya mengerti betul apa yang dia rasa.  

“Kedua,” sambungnya sok ceria, berusaha menghapus sedih yang membekap tiba-tiba. Padahal perasaannya perih tak terkira. “Pas ngobrol. Secara umum, yang ane rasain sama. Tapi ditambah salting, gugup, dan keringetan. Efeknya, kalau ngomong jadi kudu mikir dulu, apa yang harus ane omongin?Gimana cara ngomongnya? Sebab, ane ngerasa buntu. Inteligensi ane lenyap. Jadinya sedikit terbata dan sering salah. Tapi over all, ane tetap berusaha stay cool di depan dia. Biar nggak keliatan kalau suka aja.And it’s works!!” serunya bahagia. “Paling tidak menurut ane.”

“Ini jeruknya!” potong Aa pemilik warkop menyela obrolan kami sembari meletakkan dua gelas jeruk hangat di depan kami. Tak mau menunggu lama, langsung Hamdan seruput, dilanjutkan dengan ritual sucinya, membakar sebatang Sampoerna Mild.

“Ok. Go on!” lanjut Hamdan usai menyemburkan asap dari mulutnya. “Tiga, pas ngeliat dia dari kejauhan. Yang pertama kali ane pikirkan kalau ngeliat dia, kok bisa gitu, ada cewek secakep dia? ane heran. Setelah itu, dorongan untuk memiliki dia semakin menggebu, Mid!” Hamdan memekik tertahan. Tangannya mengguncang tubuh saya seolah mengajak saya untuk ikut merasakan sensasi yang dia rasa.  

“Motivasi ane bertambah! Apalagi kalau pas main futsal, trus ada dia ngeliat. Ough...!!! Dia itu doping yang membuat ane tak kehabisan tenaga. Semacam jamur dalam Super Mario gitu! Itu reaksi fisiknya.”

“Terakhir?” ucap saya mengisi kekosongan yang tercipta saat Hamdan menyedot ujung rokoknya.
“Terakhir,” ucapnya disertai kepulan asap yang keluar membabi-buta dan dengan sadis menguasai ruangan sempit Warkop.
“Kalau pas jauh dari dia. Ane kepikiran, kangen, pengen ketemu, campur-aduk, lah!! Sedangkan reaksi fisiknya, ane nyari cara buat ngubungin dia. Bisa lewat telpon kalau lagi punya pulsa, sms kalau lagi kehabisan paket, atau nge-chat kalau lagi normal. Jadi gimana, pernah ngalamin nggak?”

“Kalau indikatornya kayak yang ente alamin pas ngobrol, pernah,” jawab saya diplomatis.
“Kapan?”
“Sedang.”
Hamdan menatap mata saya tajam mencari kepastian.
“Dari semester kemaren malah,” imbuh saya singkat. 
“Siapa?” desak Hamdan penasaran. Matanya berbinar. Ekspresinya bahagia. Seolah menemukan teman senasib-seperjuangan.
Saya diam tak segera menjawab. Ada keragu-raguan dalam hati saya. Ada banyak faktor yang harus saya pertimbangkan matang-matang.
“Siapa orangnya?? Siapa namanya??” Hamdan makin penasaran.
Saya masih diam. Memikirkan resiko yang akan saya tanggung. Menimbang konsekuensi yang harus saya terima jika saya membocorkan semuanya. Berat.
“Siapa, Mid?!!” Hamdan sudah benar-benar tak sabar.
Saya menatap matanya, berusaha meyakinkan diri bahwa Hamdan adalah orang yang tepat untuk menjaga rahasia yang saya simpan rapat-rapat selama ini. Hamdan mengerti. Dia mengangguk seolah mengatakan, ‘percayalah padaku, Kawan! Aku tak akan mengkhianatimu.’ Ah, tipikal sahabat sejati.

“Tapi indikatornya apa yang ente alami pas ngobrol sama dia, ya..” saya berusaha meyakinkan diri sekali lagi.
Hamdan mengangguk mantap. Matanya penuh kesungguhan. Ekspresinya menegang, seperti siap menunggu rahasia terbesar abad ini yang sebentar lagi akan terbongkar dan terpampang nyata di depan mata.

Hamdan, adalah teman saya yang setia dan loyal. Dia juga teman diskusi yang cerdas, pendengar yang baik dan tukang cerita yang handal. Wawasannya luas. Pengalamannya banyak. Saya benar-benar tahu itu. Karena dia satu fakultas dengan saya. Lebih dari itu, dia satu jurusan dengan saya. Ah, sekelas malah! Maka, cukuplah rasanya semua pertimbangan tersebut. Apa lagi? Saya tahu dia luar-dalam. Tak ada sekat antara kami berdua.
Hamdan masih menunggu.
“Namanya, U...” tiba-tiba keraguan tadi datang lagi.
Hamdan semakin menunduk. Mendekatkan telinganya pada mulut saya. Menjaga jarak aman di antara kami. Agar rahasia ini tak bocor pada siapapun. Apalagi agen rahasia negara lain, bisa bahaya!! Itu bukan hanya mengganggu stabilitas dan keamanan negara. Bahkan justru dapat menghancurkannya dalam sekejap mata dengan cara merongrong kekuasaan perlahan-lahan. Kira-kira seperti strategi Kuda Troya yang bisa membunuh Achilles, seorang Demigod.

“U...” keraguan saya semakin menjadi.
Tapi Hamdan, dia justru semakin mendekatkan dirinya. Dia menggeser kursi! Semakin sempit jarak di antara kami. Apalagi pipinya semakin dekat juga dengan mulut saya. Saya merasa risih; nggak etis. Orang yang belum tahu, bisa menduga saya dan dia gitu... Malah jadi sumber fitnah.
 “Ustadz Hasba,” bisik saya lirih menyebutkan nama dosen kami. Lalu saya diam. Hamdan juga diam. Saya tahu, dia tahu, kami tahu, bahkan seluruh duniapun tahu.
Hanya hening yang kemudian menemani acara ngopi kami. Deru lalu-lalang mesin sepeda motor sesekali meningkahi, hingga adzan maghrib berkumandang. Lalu kami pulang.


‘Arsy    28052016        00:12

About Unknown

IHNA adalah singkatan dari Ittihadu Marhalatina. IHNA adalah nama sebuah angkatan mahasantri di Pondok Pesantren Darus Sunnah yang diasuh oleh Prof. Dr. KH. Ali Mustafa Ya'kub, MA.

0 komentar:

Posting Komentar

Ads

Iklan Murah Meriah

Copyright © 2015 All Rights Reserved

Designed by Templatezy